Anggun C. Sasmi: Pembela Keadilan, Pembasmi Kemaluan Di mana terjadi ketidakadilan, di situ selalu muncul seorang pahlawan. Tidak jarang juga muncul pahlawan lainnya, walaupun kesiangan. Seperti kemarin, pemerintah kita berencana mengeksekusi sembilan orang warga asing terpidana mati kasus narkoba. Berita ini tersebar luas dan digemborkan secara masif karena menyangkut hak asasi manusia, sehingga menuai berbagai protes dari banyak pihak. Baik dari keluarga terpidana, pemerintah yang bersangkutan, sampai orang lain. Orang yang benar-benar lain daripada yang lain. Salah seorang terpidana adalah warga negara Perancis: Serge Atlaoui. Ia dipidana mati karena tuduhan ikut mengoperasikan sebuah pabrik ekstasi di Tangerang. Sempat mengajukan grasi dan ditolak, lalu mengajukan peninjauan kembali atas vonis yang dideritanya. Bapak Serge Atlaoui tetap menyangkal tuduhan bahwa dia bekerja sebagai alchemist di pabrik ekstasi tersebut. Menurut pengakuannya, dia hanya menjadi tukang las mesin. Ada yang aneh. Seorang warga Prancis hijrah ke Indonesia hanya demi bekerja sebagai tukang las mesin? di pabrik ekstasi? Di luar keanehan itu, ada lagi yang lebih aneh: Anggun C. Sasmi. Ia membela terpidana mati kasus narkoba, yang warga negara Perancis, atas dasar kemanusiaan. Anehnya begini. Anggun C. Sasmi - mungkin hampir semua orang Indonesia kenal siapa dia - memang sudah lama bermukim di Perancis. Mantan suaminya adalah warga negara Perancis. Tapi mengapa Mbak Anggun tiba-tiba berlagak jadi pejuang hak asasi manusia? Berkoar atas nama hak asasi dan kemanusiaan, yang disuarakannya lewat surat terbuka untuk Pak Presiden Jokowi, ia memimpin aksi demo menolak eksekusi hukuman mati untuk Bapak Serge Atlaoui. Sementara itu, atas dasar kemanusiaan, dia tidak berkomentar tentang hukuman mati Karni, Satinah, atau bahkan kasus Nenek Asyani, yang mencuri kayu Perhutani. Atau memang Mbak Anggun belum mengetahuinya ? Dan kemanusiaan menurut kecaman tetangga-tetangga Mbak Anggun di Eropa, atas ketidakadilan yang menimpa Bapak Serge, adalah hak asasi yang wajib dibela. Setiap orang, termasuk mbak Anggun C. Sasmi perlu mengetuk hati pak presiden. Mengingatkan bahwa ketidakadilan telah terjadi. Hukuman mati dirasa tidak perlu dilakukan untuk orang Perancis yang bekerja sebagai ahli kimia di sebuah pabrik ekstasi dan sabu-sabu. Tapi hukuman mati untuk pembunuh anak majikan di Saudi, tidak usah dibahas panjang lebar. Hukuman mati untuk pembantu rumah tangga yang sering dianiaya majikan, lalu dendam dan menghabisi nyawa majikannya, adalah hukum yang tidak harus ditegakkan. Apalagi hukuman untuk nenek-nenek penebang kayu di tanahnya sendiri, yang hanya dibuktikan oleh secarik dokumen milik perusahaan negara, dan keterangan saksi ahli. Menurut hemat saya, Mbak Anggun cuma malu. Karena di Eropa sana, sedang gencar pemberitaan tentang Indonesia akan menghukum mati Bapak Serge. Mbak Anggun jadi tengsin, dan sebagai wanita kelahiran Indonesia, merasa ikut tercoreng karenanya. Sementara berita tentang Satinah hampir tidak ada. Karni, apalagi, juga Nenek Asyani. Mbak Anggun sedih melihat tetangga Perancisnya dihukum, dan tidak tega melihat anak istri tetangga Perancisnya tersebut dalam kesedihan. Sementara jika dia mau pulang ke tanah kelahirannya, tetangga Indonesianya juga masih banyak yang mengalami kesedihan lebih dari yang Mbak Anggun rasakan. Itu jika memang kemanusiaan yang dia bela: Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, yang dia sodorkan sebagai dasar argumen dalam suratnya kepada pak presiden. Sepertinya Mbak Anggun sudah lupa, atau mungkin dia jarang baca berita. Mungkin juga ketukan buat hati Mbak Anggun kurang keras. Sepertinya perlu digedor, atau didobrak sekalian. Karena sepanjang pengetahuan saya, Mbak Anggun jago menyanyi. Dulu pada waktu upacara bendera di sekolah, Mbak Anggun kerapkali menyanyikan lagu Indonesia Raya. Meskipun itu tak jadi tolak ukur nasionalisme seseorang. Hal tersebut cuma cukup untuk menjadi dasar bahwa Mbak Anggun adalah seorang penyanyi. Hanya seorang penyanyi. “Hiduplah Indone(Sahara)...”