Home / Pemuda / Essay / Jangan Setengah Matang

Jangan Setengah Matang

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (kawanimut)
Ilustrasi. (kawanimut)

dakwatuna.com – Wanita di seluruh pelosok negeri pasti ingin memiliki pendamping. Begitu pula mahasiswi-mahasiswi yang tersebar di berbagai kampus. Ada yang ingin menikah muda, ada juga yang nyinyir menolak mentah-mentah nikah muda. Tapi dibalik itu semua selalu ada cerita. Kampus selalu menjadi ruang. Ups! Bukan ruang tapi lapang-an yang begitu luasnya. Bicara soal menikah muda pasti membuat kita tersenyum, utamanya bagi para pendamba nikah muda. Sebelum menikah ada proses yang tak akan pernah terlewatkan, lamaran! Wih siapa yang sudah pernah dilamar?

Saat seorang pria datang dan ‘meminta’ seorang wanita untuk menjadi istrinya, apakah sudah bisa disebut ‘dilamar’? Mungkin ‘Ya’, hanya saja alangkah lebih menenangkannya ketika maksud baik pria itu diutarakan langsung kepada orang tua si wanita. Dari situ dapat kita ukur sampai level berapakah ke-seriusan calon pasangan nikah muda mu.

Macho itu ketika seorang pria dengan mantapnya menyampaikan lamarannya kepada ayah dan ibu di rumah, dan alangkah menggantungnya hati seorang wanita ketika pria yang memintanya hanya sampai pada keputusan wanita, belum termasuk kedua orangtua. Wanita dengan kabar lamar sudah sampai telinga orangtua bolehlah merekahkan senyum bangga dan puas melihat keseriusan pria-mu. Lalu bagaimana dengan yang lamarannya hanya padamu?

Ada ragu, bimbang, gelisah, harap dan angan yang begitu besar kau gantungkan pada pria yang memintamu agar segera menemui wali mu. Hatimu berat padanya karena sosoknya yang cukup matang dan pribadinya yang cukup membuatmu terpesona, tapi ingat! Dia belum benar-benar serius sampai dia menemui Ayah Ibumu di rumah. Betapa lamarannya mengganggumu, mengganggu kuliahmu karena resah, merasuki shalatmu yang akhirnya tak khusyuk, mengambil waktu tilawahmu karena kau sibuk meminta kepada-Nya agar pria itu untuk mu. Betapa lamarannya menyita seluruh fokusmu dari organisasi kampus yang kau geluti.

Sampai pada akhirnya wanita sampai pada titik lelah dan mengucap “Semoga Allah meridhai setiap jalan yang kutapaki. Semoga Allah tak lelah menuntun dan menegurku yang acap kali salah jalan karena turuti ego. Bukankah tak pernah ada rencana yang lebih indah dari rencana-Nya? Kalau begitu aku akan bersabar untuk menunggu.” Menunggu lagi, ternyata wanita tak pernah benar-benar ada dalam titik lelah karena dia ingin selalu mencoba kembali. Lagi, lagi, lagi dan lagi. Itulah wanita.

Karena ketika wanita yang sudah mempersilakan pria untuk menemui walinya, itu sudah cukup menjadi pembuktian cinta pertamanya, sedangkan pria yang ketika sudah dipersilakan menemui ayah ibu atau walimu di rumah lalu dia menyanggupinya, itu bukanlah pembuktian cinta pertamanya padamu. Karena sesungguhnya cara pria membuktikan cintanya pertama kali untukmu adalah ketika dia bersabar dalam mengutarakan lamarannya sampai dia merasa mampu dan siap menemui ayah ibumu bukan menemui dan mengutarakannya padamu.

Karena melamar itu:

Enggak sebatas kalimat “Kamu mau enggak jadi istri saya?”. Pria harus siap dan mampu menunjukkan keseriusannya dengan mendatangi ayah ibu di rumah dengan segala pertimbangan yang sudah matang bukan setengah matang dan melontarkan kalimat “Pak, Bu bolehkah anak Bapak dan Ibu saya jadikan pendamping di dunia dan akhirat?”

Karena sesungguhnya yang bertugas menunggu (untuk dipersilakan) itu Anda (pria), sedangkan aku (wanita) hanya mempersilakan.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars6 Stars7 Stars8 Stars9 Stars10 Stars (14 votes, average: 8,79 out of 10)
Loading...Loading...
Ashma Mardhiyatu Musyaffa
Dara kedua dari empat dara. Ashma Mardhiyatu Musyaffa, nama yang sekaligus doa, "Nama yang selalu diridhoi oleh Allah dan memberikan syafaat” Amin. Rangkaian doa itu adalah arti yang terkandung dalam namanya.

Lihat Juga

pilih

Membumikan Autokritik di Tengah Perbedaan